Kepercayaan adalah fondasi utama dalam setiap hubungan sosial, termasuk dalam relasi antara masyarakat dan institusi negara. Namun, di Indonesia, kepercayaan terhadap dua profesi yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan—polisi dan politisi—terus mengalami erosi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan filosofis mendalam: mengapa masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan kepada mereka? Apakah ini merupakan kegagalan individu dalam profesi tersebut, ataukah sistem yang membentuk mereka telah cacat sejak awal?
Filosofi Kepercayaan dan Otoritas
Dalam pemikiran filsafat politik, kepercayaan adalah elemen kunci dalam legitimasi kekuasaan. John Locke dalam Two Treatises of Government menyatakan bahwa pemerintahan harus berlandaskan consent of the governed (persetujuan yang diperintah). Begitu pula dengan Max Weber yang membedakan tiga jenis legitimasi kekuasaan: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Polisi dan politisi, dalam sistem modern, memperoleh kewenangan mereka melalui legitimasi legal-rasional, yang berarti mereka harus menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku.
Namun, ketika penyalahgunaan wewenang terjadi secara sistemik, kepercayaan yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan mulai luntur. Nietzsche dalam On the Genealogy of Morality berpendapat bahwa institusi yang dibangun di atas kepentingan pribadi cenderung mengalami korupsi moral, di mana nilai-nilai luhur seperti keadilan dan kebenaran digantikan oleh kepentingan egois.
Polisi: Antara Penegak Hukum dan Rezim Kekuasaan
Polisi dalam teori sosial sering dianggap sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga ketertiban. Michel Foucault dalam Discipline and Punish menggambarkan bagaimana institusi seperti kepolisian dapat menjadi alat kontrol sosial yang represif jika tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang sehat.
Di Indonesia, banyak kasus menunjukkan bahwa polisi sering kali tidak bertindak sebagai pelindung masyarakat, melainkan sebagai alat kekuasaan yang melayani kepentingan elit. Ketika hukum tidak lagi dijalankan secara adil dan netral, masyarakat kehilangan kepercayaan dan mulai melihat polisi bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai ancaman.
Politisi: Dari Representasi Rakyat ke Oligarki Kekuasaan
Dalam filsafat politik, politisi seharusnya berfungsi sebagai perwakilan rakyat yang memperjuangkan kepentingan umum. Namun, realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa banyak politisi lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Aristoteles dalam Politics membedakan antara polity (sistem pemerintahan yang sehat) dan oligarchy (pemerintahan yang hanya menguntungkan segelintir orang).
Ketika korupsi menjadi budaya, sistem politik berubah dari demokrasi menjadi oligarki terselubung. Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menegaskan bahwa kekuasaan yang tidak didasarkan pada kepentingan umum akan selalu berujung pada kehancuran moral dan politik.
Dampak Kehilangan Kepercayaan
Ketika polisi dan politisi tidak lagi dipercaya, masyarakat mengalami krisis legitimasi terhadap institusi negara. Dalam teori anarkisme, seperti yang dikemukakan oleh Pierre-Joseph Proudhon, ketidakpercayaan terhadap otoritas bisa mengarah pada keinginan untuk menggulingkan sistem yang ada. Di sisi lain, dalam perspektif sosial-kritis, seperti yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas, krisis kepercayaan ini justru bisa menjadi pemicu perubahan sosial jika direspons dengan reformasi yang benar.
Kesimpulan: Mungkinkah Memulihkan Kepercayaan?
Kepercayaan bukan sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam. Butuh reformasi struktural yang mendalam, transparansi, dan akuntabilitas agar polisi dan politisi bisa kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant dalam Perpetual Peace, sistem yang baik harus didasarkan pada prinsip moral yang kuat, bukan sekadar kepentingan pragmatis.
Tanpa reformasi yang nyata, skeptisisme masyarakat terhadap polisi dan politisi akan terus tumbuh, yang pada akhirnya bisa berujung pada ketidakstabilan sosial dan politik. Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika kepercayaan terhadap institusi runtuh, revolusi menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
0 Komentar